“Yang mana yang
kamu tidak mengerti?”
“Yang ini” jari
telunjukku menunjuk ke sebuah soal Fisika yang tidak ku mengerti. Choi Minho,
seseorang yang menurut ku hampir sempurna. Dia tampan, tentunya. Dia baik,
murah senyum, dan cerdas. Setiap pulang sekolah aku selalu minta diajarkan
pelajaran yang kurang ku mengerti. Rumahnya pun hanya berjarak 5 rumah dari
rumah ku.
“Gini nih” dia
mulai membuat coretan di atas kertas. Aku menopang dagu ku menggunakan kedua
telapak tangan, persis seperti gaya khas Cherry Belle dan terus menatapnya.
“Uuukkhh” Minho
menyentuh perut bagian atas di sisi kanan sambil merintih kesakitan. Aku tahu
persis apa yang sedang terjadi padanya. Dia mencengkram erat tangan kiri ku.
Dia pasti merasakan sakit yang luar biasa.
“Aku ambil ponsel
dulu” panik, sepanik-paniknya orang panik. Jari-jari ku dengan cepat menekan
tombol di layar ponsel. Hendak menghubungi dokter pribadinya Minho.
“Bisa kamu
berdiri?” Minho mengangguk pelan sambil terus menahan rasa sakitnya. Sekuat
tenaga ku kerahkan untuk menopang tubuh Minho yang 2x lebih berat dari tubuh ku
hingga ke kamarnya. Aku membaringkan tubuhnya di atas kasur.
“Maaf merepotkan
mu” suaranya masih terdengar jelas kalau dia berusaha menahan sakit yang
dirasanya.
“Jangan pikirkan
itu” aku mengusap-usap kepalanya dengan tangan kiri ku, membelai rambutnya yang
hitam itu berkali-kali. Sementara tangan kanan ku berada tepat di atas punggung
tangan Minho yang berada di perut bagian atasnya. Minho memejamkan matanya.
Giginya gemertak berusaha menahan sakit. Mata ku memanas menatap kondisinya.
Aku selalu tidak tega setiap melihat Minho seperti ini.
+++
“Biarkan saja dia
istirahat untuk beberapa hari ke depan”
“Terimakasih Dok”
seraya membungkukkan badanku. Dokter itu memberikan beberapa obat-obatan padaku
sebelum ia akhirnya pergi.
“Yuki?”
“Iya?” aku
merangkak mengambil tempat di samping Minho yang masih berbaring di kasur.
“Katanya apa?”
“Kamu harus
istirahat beberapa hari dan tentunya minum obat”
“Obat?
Satu-satunya obat yang paling efektif untukku adalah bermain bask-”
“Dan kamu tidak
boleh lelah” sambar ku memotong kalimatnya. Minho menatapku. Dia menaikkan
kedua bahunya. Ya, basket memang mimpinya. Dia selalu ingin menjadi juara. Akan
tetapi mimpinya terhalang oleh penyakitnya. Penyakit yang sudah lama
dideritanya tapi ia tidak pernah memperdulikannya hingga penyakitnya itu
sendiri yang menghentikan mimpinya.
“Seandainya saja
dulu aku langsung operasi” ekspresinya terlihat sedih dan penuh penyesalan.
“Ya, karena kamu
menganggap enteng penyakitmu”
“Seandainya waktu
bisa diputar kembali” Minho memejamkan ke dua matanya kembali. Mungkin dia
berusaha mengingat-ingat sesuatu yang seharusnya ia lakukan dulu. Tanpa sadar
aku mengecup kening Minho. Seketika itu dia membuka matanya, menatapku
terheran-heran. Deg! Tamat lah riwayatku jika pertanyaan sakti itu keluar dari
mulutnya.
“Kenapa bukan di
sini?”
“Hah?” aku
mengernyitkan dahi ku. Tak paham dengan kata-katanya.
“This” deg! Jantungku
berdetak semakin cepat seperti genderang mau perang (?) ketika Minho menunjuk
bibirnya yang semerah cherry.
“I’m not your
girlfriend, Choi Minho. I’ll hit your liver” sambil mengepalkan tanganku.
“Hahah just
kidding Yuki” Minho tersenyum jahil padaku. Mungkin dia menganggap tadi hanya
lelucon konyol. Tapi bagiku?
“Sini, sini”
Minho menarik tubuhku dan membaringkan tepat di atas dadanya yang bidang. Aku
pun bisa merasakan detak jantungnya yang… normal. Tidak seperti milikku yang
tidak karuan. Layaknya atlet yang lari mengitari stadion GBK 45x tanpa
istirahat. Nafas Minho yang hangat terasa menggelitik rambut di puncak
kepalaku. Oh God please! This is more
than enough for me. Baru saja pikiranku melayang-layang entah kemana tapi
sesuatu membuatku terjatuh kembali. Sesuatu yang tidak mau ku ingat. Ini
tentang penyakit Minho. Dia divonis menderita Kanker Hati. Minho terkena kanker
berdasarkan riwayat penyakit di keluarganya. Ayah Minho sempat menderita
diabetes sebelum akhirnya ia meninggal. Kini pun Minho hanya tinggal berdua
dengan ibunya karena kakak perempuannya seorang designer dan tinggal di
Perancis. Aku sempat berpikir bahwa Minho mungkin menganggapku hanya sebagai
kakaknya.
‘Taeeonaseo
neol mannago jugeul mankeum saranghago’
I
was born and I met you
And
I have loved you to death